1. Menurut Holmes hukum adalah apa yang
dikerjakan dan diputuskan oleh pengadilan.
Holmes jatuh di paradigma Positivisme dengan
set
belief Realisme naif dan word
view Real dan dapat dipahami karena
holmes dalam pemahamannya tidak berusaha untuk melihat ke balik fakta-fakta
yang di observasi untuk mengetahui sebab utama makna ataupun esensi
diputuskannya putusan dipengadilan. ia hanya menyatakan hukum apa yang dikerjakan dan diputuskan
dipengadilan. Sehingga fakta dan nilai dipisahkan secara kaku.
2. Menurut
John Austin hukum adalah Seperangkat perintah, baik langsung maupun tidak
langsung dari pihak yang berkuasa kepada warga rakyatnya yang merupakan
masyarakat politik yang independen dimana pihak yang berkuasa memiliki otoritas
yang tertinggi.
John Austin jatuh di paradigma Positivisme dengan set belief Realisme naif dan word view General, ini
dapat dilihat dari pendapatnya “kepada warga rakyatnya” hal ini menyeluruh hukum berlaku bagi setiap warga Negara, dan word
view deteministik “pihak
berkuasa memiliki otoritas yang tinggi” hal ini berarti menentukan perintah itu
keharusan karena otoritas penguasa tinggi, selain itu John tidak melihat ke
balik peraturan-peraturan legislatif yang timbul karena kekuasaan tersebut, yakni
kepada proses pembentukannya, dan tanpa mempertimbangkan sikap-sikap atau
nilai-nilai yudisial. Bahwa dalam memperlakukan pengaturan sebagai data hukum
yang tersedia ia mengasumsikan kepastian dan kejelasan di dalam perturan yang
sama sekali tidak jelas, dan bahwa ia tidak bias menanggulangi masalah hubungan
yang kompleks antara peraturan dan kekuasaan
dari kalangan pejabat pembentuk regulasi hukum di dalam masyarakat
kontemporer yang kompleks.
3. Prof. Dr. Satjipto
Rahardjo, S.H. pencetus hukum progresif, hukum
progresif adalah hukum yang melakukan pembebasan, baik dalam cara berpikir
maupun bertindak dalam hukum, sehingga mampu membiarkan hukum itu mengalir saja
untuk menuntaskan tugasnya mengabdi kepada manusia dan kemanusiaan. Jadi tidak
ada rekayasan atau keberpihakan dalam menegakkan hukum.
Prof . Tjip jatuh di paradigma Post-Positivisme dengan set
belief Realisme kritis dan word
view mungkin saja dapat dipahami tetapi tidak sempurna karena terbatasnya mekanisme intelektual manusia,
Sebab dapat dilihat dikata-kata ”pembebasan, baik dalam cara berpikir maupun
bertindak dalam hukum” dan “membiarkan
hukum itu mengalir saja” ini mengasumsikan bhwa keterbatasan intelektual
manusia sehingga dibiarkan saja hukum mengalir dengan sendirinya, hukum
bertujuan untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan bagi semua rakyat. Hukum
progresif bermakna hukum yang peduli terhadap
kemanusiaan sehingga bukan sebatas dogmatis belaka. Secara spesifik hukum
progresif antara lain bisa disebut sebagai hukum yang pro rakyat dan hukum yang
berkeadilan. Progresifisme hukum mengajarkan bahwa hukum bukan raja, tetapi
alat untuk menjabarkan dasar kemanusiaan yang berfungsi memberikan rahmat
kepada dunia dan manusia. Dalam kata laini dimasukan unsure-unsur moral
kedalamnya bukan sebatas Undang-Undang secara tertulis saja.
4. Menurut
Paul Scholten (G.J.Scholten, 1949: 298)
hukum dapat dilihat dari segi yang kesemuanya dapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiah, tetapi harus dipisahkan satu sama lain. Pertama metode yang
melihat hukum sebagai perilaku dan pertimbangan manusia yang mencoba
menjelaskan secara historis-sosiologis kenyataan berhubungan dengan
fenomena-fenomena lain. Yang kedua adalah metode yuridis yang sesungguhnya yang
melihat peraturan yang berlaku sebagai suatu kesatuan yang berarti yang
dijelaskan dari dirinya sendiri. Metode terakhir tidak menanyakan bagaimana
terjadinya hukum, tetapi “apakah hukum itu?” dan sekaligus menjawab pertanyaan
“apa yang sah?”. Apakah dalam konkretonya dalam hubungan tertentu harus terjadi
menurut hukum? Bukan causaal-genetis, tetapi logis-sistematis.
Paul schotel jatuh di paradigma Post-Positivisme dengan set
belief Realisme kritis dan word view realitas diuji secara kritis
guna dipahami sedekat mungkin karena metode yang menilai hukum yang menanyakan “apa
hukum itu”, bisa juga “apa hukum itu seharusnya” dan ukurannya diterapkan pada
hukum yang berlaku. Ia menanyakan tentang “hukumnya hukum” atau “keadilan”. Ini
kenyataan yang dihadapi oleh banyak manusia menurutnya dan harus diuji atau
difikirkan kembali makna sebenarnya yang mendorong pada kritisnya.
Konsep yang mengikuti pemikiran Paul
Scolten yang memahami dengan unsur moral dalam hukum yang kehadirannya
dirasakan secara langsung begitu saja. Oleh Scolten dimasukkan ke dalam
kategori irrasional yang secara teknis disebut asas hokum. Pendapatnya
yang amat terkenal adalah hukum itu ada
dalam perundang-undangan tetapi masih harus ditemukan. Di situlah Scotlen
mengemukakan teorinya tentang penemuan hukum yang didasari oleh pemahaman
mengenai tata hukum sebagai suatu sistem yang terbuka. Dalam keyakinannya,
Scolten mengatakan bahwa pada suatu saat asass hukum itu sulit untuk ditarik dari
perundang-undangan, tetapi tetap diyakini bahwa asas itu ada yang ruang
linkupnya tidak hanya meliputi suatu bidang hukum tertentu, melainkan seluruh
hukum secara tidak langsung menyelipkan moral didalamnya.
Referensi:
HukumOnline.com
Artikel tokoh-tokoh Hukum
Ali, Zainuddin. Filsafat Hukum, Sinar
Grafika: Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar