A. Latar belakang terjadinya perubahan UUD 1945
Indonesia belum pernah berhasil
melakukan reformasi konstitusi. Keempat usaha yang dilakukan pada tahun 1945,
1949, 1950 dan 1956-1959 gagal menciptakan sebuah konstitusi yang demokratis,
terutama yang tidak bersifat sementara. Usaha reformasi konstitusi yang kelima
pada kurun waktu 1999-2002 sangat krusial untuk mengantarkan transisi Indonesia
dari kekuasaan otoriter Soeharto ke sebuah tatanan kelembagaan yang demokratis.
Untuk menjelaskan relatif berhasilnya usaha yang kelima, perlu dipahami
terlebih dahulu penyebab gagalnya keempat upaya sebelumnya.
Latar
belakang terjadinya perubahan hal utama diantaranya:[1]
1.
Faktor
jatuhnya Soeharto yang mendorong terjadinya perubahan politik di Indonesia.
Difokuskan pada situasi politik Indonesia sebelum Soeharto jatuh, masuknya
ide-ide pembaharuan politik dari luar dan sejauh mana pengaruh faktor internasional
atas tumbuhnya gerakan reformasi yang dipelopori mahasiswa yang berjuan kepada
munculnya gagasan perlu perubahan UUD 1945 dalam rangka reformasi politik.
2.
Faktor
perkembangan politik Indonesia pasca pemilu 1999 dalam mendorong percepatan
perubahan UUD 1945.
3.
Menguraikan
faktor masyarakat sipil dalam dinamika perubahan UUD 1945 antara tahun
1999-2002.
Pada perubahan pertama sampai keempat
UUD 1945, dilakukan pengaturan kembali distribution
of power dalam rangka menegakkan kedaulatan rakyat. Ini bertujuan agar
kekuasaan Negara dapat dibagi secara seimbang diantara cabang kekuasaan
eksekutif, legislative, dan yudikatif sehingga dapat memunculkan sistem checks and balance.
B. Penting
Perubahan Konstitusi
Amandemen selangkah demi selangkah yang
evolusioner itu pada akhirnya telah mengakhiri karakter temporer
konstitusi-konstitusi Indonesia sebelumnya. UUD 1945 pasca amandemen adalah
Konstitusi Indonesia pertama yang tidak secara eksplisit menyebutkan bahwa
dirinya adalah sebuah Konstitusi sementara. Di samping itu, di penghujung
proses, keempat amandemen itu telah menciptakan sebuah Konstitusi yang jauh
lebih demokratis. Secara khusus, amandemen-amandemen itu telah membakukan
pemisahan kekuasaan yang lebih jelas antara lembaga eksekutif, legislatif dan
yudikatif; juga perlindungan hak-hak asasi manusia yang lebih mengesankan. [2]
C. Aktor
terlibat dalam perubahan konstitusi
Dasar Negara dan
Agama:
Fraksi PDIP, Fraksi KKI dan Fraksi PDKB
berpandangan Pancasila perlu masuk dalam pasal-pasal UUD. Partai berorientasi
Islam PKB dan PAN berpandangan sebaliknya. Sedangkan Fraksi Golkar dan Fraksi
TNI/Polri berada siantara kelompok itu.
Sementara
dalam pembahasan agama fraksi Islam ingin memasukan ‘tujuh kata’ pada Pasal 29
tujuan memasyarakatkan Islam, fraksi PDIP dan PDKB tidak menyetujui, meminta
agar tidak voting materi agama,
Fraksi PDIP tidak mempersoalkan usulan
Pancasila. Fraksi PPP dan PBB tidak memaksa usulan lagi.
Kelembagaan MPR,
DPD, dan DPR:
Perbedaan pandangan setiap fraksi,
bagi Fraksi PDIP pembentukan DPD yang sejajar dikhawatirkan akan merusak NKRI,
bagi Fraksi Golkar DPD yang sejajar dengan DPR justru memperkuat NKRI. Masalah
susunan dan kedudukan MPR tidaklah berdiri sendiri karena terkait masalah
Utusan Golongan dan TNI/Polri dan masalah sistem pemilihan Presiden
langsung.MPR lembaga tertinggi dihapus.
Sistem Pemilihan
Presiden Langsung:
Fraksi Golkar mengusulkan pemilihan
langsung
Masyarakat
sipil
berperan mempengaruhi sikap akhir fraksi dalam pembahasan isu oleh MPR, warna aliran masih mempengaruhi secara tebatas
pandangan dan sikap fraksi dalam proses perubahan, ini diwarnai oleh kompetisi,
bargaining, dan kompromi serta
kepentingan partai yang bersifat nilai-nilai demokratis. Adanya perubahan
komunitas dalam aliran politik Indonesia taerutama Islam dan kebangsaan. Aliran
politik dewasa ini masih sebagi alat untuk menguatkan identitas politik yang
bersangkutan.[3]
D.Topik (isu
strategis) dalam amandemen[4]
Sidang
Umum MPR 1999 menghasilkan Perubahan Pertama Pasal UUD 1945, menyangkut
kekuasaan legislatif, pembatasan masa jabatan Presiden, serta pemantapan checks and balances. Pasal itu: Pasal 5,
7, 9, 13, 15, 17, 20 dan 21.
Sidang
tahunan MPR 2000 Perubahan Kedua meliputi 25 Pasal, menyangkut enam materi
pokok, yaitu: (1) pemerintah daerah; (2) wilayah Negara; (3) kedudukan warga
Negara dan penduduk; (4) hak asasi manusia; (5) pertahanan dan keamanan Negara;
(6) bendera, bahasa, lambing Negara, dan lagu kebangsaan.
Sidang
tahunan MPR 2001 menghasilkan Perubahan Ketiga mengubah secara mendasar
system ketatanegaraan Indonesia. Antara lain: (1) arti ‘kedaulatan’; (2) adopsi
sitem bicameral terbatas; (3) pemilihan Presiden secara langsung; (4) penegasan
Indonesia sebagai Negara hukum; (5) pengaturan pemilihan umum; (6) Mahkhamah
Konstitusi; (7) prosedur amandemen UUD.
Sidang
tahunan MPR 2002 Perubahan Keempat penyelesaian pemilihan Presiden langsung
putaran kedua, susunan keanggotaan MPR, Pendidikan, dan masalah Aturan
Peralihan dan Aturan Tambahan.
E. Mekanisme,
model dan pola perunahan konstitusi
Dasar Negara dan Agama
Dalam pembahasan dasar negara tidak lagi
diperdebatkan ideologi dan dasar Negara sebab Pancasila sebagai dasar Negara
sudah dianggap final.Cara pandang fraksi-fraksi Islam yang mengelompok
memperlihatkan masih adanya pengaruh warna aliran Islam. Begitu pun dengan
fraksi-fraksi non-Islam yang dipengaruhi aliran nasionalis sekuler. Masalah
dasar negara mencapai kesepakatan untuk tidak memasukan pancasila dalam batang
tubuh UUD 1945, kesepakatan dicapai dengan masalah masuknya ‘tujuh kata’yaitu
‘dengan kewajiban melaksanakan Syariat Islam bagi pemeluknya’ dalam Pasal 29
juga tidak jadi dilakukan.[5]
Perubahan pasal-pasal UUD 1945 yang
mengatur lembaga perwakilan merupakan upaya memperbaiki system perwakilan yang
sebelumnya melahirkan MPR dengan kekuasaan tidak terbatas, Presiden yang
terlampau kuat, serta Legislatif yang lemah. Pembahasan penguatan peran DPR
tidak memunculkan perdebatan kuat sebab tidak berhubungan dengan ideology,
menyangkut kepentingan DPR dan partai, dan memperoleh dukungan kuat masyarakat.
DPD
untuk memperkuat penyaluran aspirasi daerah dengan peningkatan utusan daerah,
akhinya bentuk DPD soft bicameral.
Perubahan mengenai DPR adalah mengenai
fungsi DPR karena merupakan lembaga perwakilan mengontrol pelaksanaan
undang-undang dan jalannya pemerintahan. Fungsi DPR dipertegas yaitu fungsi
legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Hak DPR sebagai lembaga
yaitu hak interplasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. Dan Hak anggota
DPR secara perorangan yaitu mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan
pendapat, serta hak imunitas. Selaiin itu fungsi lain DPR mengusulkan
pemberhentian Presiden, melantik Presiden dan Wakil Presiden dalam hal MPR
tidak dapat melaksanakan, memilih anggota Badan Pemeriksa Keuangan, memberikan
persetujuan ata pengangkatan HakimAgung, mengajukan 3 dari 9 orang anggota
hakim konstitusi.
Mengenai MPR pembahasan panjang MPR
disepakati sebagai lembaga permanen, kewenangan yang tersisa yaitu pelantikan
dan pengambilan sumpah dan janji Presiden yang dilakukan dihadapan MPR,
mengubah dan menetapkan UUD, serta memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden
apabila terbukti melanggar UUD 1945. Ini dikarenakan Presiden tidak dipilih MPR
melainkan langsung oleh rakyat, sehingga Presiden tidak bertanggungjawab kepada
MPR.MPR kemudian tidak lagi sebagai lembaga tertinggi yang mendistribusikan
wewenang kepada lembaga-lembaga negara lain dibawahnya, dengan dihapusnya kata
‘sepenuhnya’pada Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Susunan dan kedudukan MPR selesai
setelah kesepakatan mengenai DPD dan Presiden.
Sistem Pemilihan Langsung
Proses pembahasan panjang, ini terkait
masalah susunan dan kedudukan MPR, kewenangan MPR sebagai lembaga, dan
kalkulasi politik. Kewenangan MPR yang oleh UUD 1945 lama (sebelum perubahan)
tidak memberikan rambu-rambu jelas mengenai pemberhentian Presiden. Setelah
perubahan ketiga seorang Presiden dapat diberhentikan setelah melalui proses
peradilan Mahkamah Konstitusi, kepastian pemberhentian Presiden mempengaruhi Fraksi
PDIP menerima sistem pemilihan Presiden langsung karena fraksi-fraksi lain
menyetujui dan masyarakat sipil menginginkan sangat kuat pemilihan Presiden
secara langsung.
UUD 1945 masih tetap dianggap sebagai
sumber jaminan bagi eksistensi dua elemen fundamental negara Indonesia: (i)
penolakan terhadap negara Islam; dan (ii) sebagai gantinya, ditetapkannya
Pancasila, sebagai ideologi negara nasionalis, yang terkandung dalam Pembukaan
Konstitusi. Jadi, kesepakatan MPR untuk mempertahankan Pembukaan adalah konsensus
kunci yang memungkinkan proses amandemen ini berjalan sebagaimana mestinya.[7]
F. Materi (arah
dan hasil) perubahan konstitusi
Reformasi
Legislatif;Struktural
Keempat amandemen itu telah
mengubah struktur parlemen. MPR, yang semula berisi anggota-anggota DPR dan
kelompok-kelompok fungsional tambahan-termasuk militer sudah diubah, dan
sekarang hanya terdiri dari anggota-anggota DPR dan DPD.1589 Anggota-anggota
DPR mewakili kepentingan-kepentingan partai-partai politik, sedangkan anggota
DPD mewakili kepentingan-kepentingan daerah yang diwakilinya.1590 Yang penting,
semua anggota dari kedua kamar ini kini dipilih oleh rakyat. Ini berarti sistem
kursi pesanan‘ untuk militer dan golongan-golongan lain, sudah tak berlaku
lagi.[8]
Reformasi
Fungsional; MPR dan Kedaulatan
Sebuah perubahan yang fundamental
terjadi ketika Perubahan Ketiga mengatur bahwa kedaulatan berada di tangan
rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar. Ini berarti bahwa MPR
tidak lagi menjadi satu-satunya pemegang kedaulatan, tidak lagi merupakan
lembaga tertinggi di Republik ini, dan tidak lagi memiliki kekuasaan-kekuasaan
yang tak terbatas.[9]
Reformasi DPR
Perubahan Pertama mencabut
kekuasaan untuk membuat undang-undang dari tangan Presiden, dan memberikannya
kepada DPR. Bagir Manan berpendapat bahwa amandemen ini mengukuhkan checks
and balances yang lebih jelas antara Presiden, selaku lembaga eksekutif,
dan DPR, sebagai lembaga legislatif.[10]
Pembentukan DPD
Satu langkah reformasi legislatif
lainnya adalah pembentukan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Lembaga baru ini
dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada masyarakat daerah untuk berperan
lebih aktif di dalam pemerintahan, sejalan dengan ide untuk menerapkan otonomi
daerah.1625 Tetapi, DPD hanya diberi otoritas yang sangat terbatas, apalagi
kalau dibandingkan dengan kekuasaan DPR. Tetapi, bagaimanapun juga, ini adalah
satu contoh lain kompromi yang dicapai dalam proses amandemen.[11]
Reformasi
Eksekutif
Bahwa sekarang Indonesia memiliki
sebuah sistem checks and balances yang lebih baik terhadap
kekuasaan-kekuasaan presiden. Kendati pemilihan Presiden langsung memperkuat
legitimasi Presiden, ini tidak berarti bahwa kekuasaan Presiden akan tak
terbatas. Kekuasaan Presiden untuk mengangkat dan memberhentikan
pejabat-pejabat tinggi negara sudah diatur dengan lebih baik.[12]
Reformasi Yudisial; Struktural
Membakukan dua lembaga baru:
Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial. Posisi Mahkamah Konstitusi setara
dengan Mahkamah Agung, tetapi dengan yurisdiksi yang berbeda. Keputusan untuk
membentuk sebuah mahkamah baru adalah satu solusi yang lebih baik ketimbang
memberi kekuasaan-kekuasaan yudisial baru kepada Mahkamah Agung, mengingat
begitu akutnya masalah korupsi di tubuh Mahkamah Agung dan di tingkat-tingkat
peradilan yang berada di bawahnya.[13]
G. Makna
Perubahan Konstitusi
Karakteristik-karakteristik proses
pembuatan konstitusi di masa transisi, para ilmuwan harus mencatat bagaimana nilai
simbolik UUD 1945 dengan kuat terus membayang-bayangi berlangsungnya reformasi
konstitusi di negeri ini. Sekalipun prosesnya berbeda dari proses-proses
demokrasi di negara-negara lainnya, proses yang lamban, setengah-setengah, dan
tentatif yang terjadi di Indonesia berhasil membawa negara ini ke sebuah
Konstitusi yang lebih demokratis, dan memberikan kontribusinya yang signifikan
kepada proses transisi Indonesia dari sebuah otoriterisme yang terang-terangan.[14]
Dengan perubahan konstitusi aliran
politik dewasa ini lebih digunakan sebagai alat partai politik untuk menguatkan
identitas politiknya. Fenomena perubahan ideologi ditingkat global dan
menguatnya pragmatisme kalangan umat Islam Indonesia akibat proses
deideologisasi dan modernisasi ekonomi selama orde baru telah memunculkan
masyarakat Islam yang lebih mengutamakan Islam kultural daripada Islam sebagai ideologi.
[15]
DINA SEPTIA ANDRIANI
11010112130530
Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
SUMBER
Denny Indrayana, 2007, Amandemen UUD 1945, Antara
Mitos dan Pembongkaran, cetakan kedua, Mizan, Bandung.
Valina
Singkah Subekti, 2008 Menyusun Konstitusi Transisi: Pergulatan
Kepentingan dan Pemikiran dalam Proses Perubahan UUD 1945,cetakan pertama,
Rajawali Pers, Jakarta.
[1] Valina
Singka Subekti, Menyusun Konstitusi Transisi: Pergulatan Kepentingan dan
Pemikiran dalam proses Perubahan UUD 1945, Rajawali Pers: Jakarta, hlm 45-46
[2] Denny
Indrayana, UUD 1945: Antara Mitos dan Pembongkaran, Mizan:
Bandung, hlm 435
[3] Valina
Singka Subekti, Menyusun Konstitusi Transisi: Pergulatan Kepentingan dan
Pemikiran dalam proses Perubahan UUD 1945, Rajawali Pers: Jakarta, hlm 322
[4] Valina
Singka Subekti, Menyusun Konstitusi Transisi: Pergulatan Kepentingan dan
Pemikiran dalam proses Perubahan UUD 1945, Rajawali Pers: Jakarta, hlm 7
[5] Valina
Singka Subekti, Menyusun Konstitusi Transisi: Pergulatan Kepentingan dan
Pemikiran dalam proses Perubahan UUD 1945, Rajawali Pers: Jakarta, hlm 316
[6] Valina
Singka Subekti, Menyusun Konstitusi Transisi: Pergulatan Kepentingan dan
Pemikiran dalam proses Perubahan UUD 1945, Rajawali Pers: Jakarta, hlm 318-319
[15] Valina
Singka Subekti, Menyusun Konstitusi Transisi: Pergulatan Kepentingan dan
Pemikiran dalam proses Perubahan UUD 1945, Rajawali Pers: Jakarta, hlm 325
Tidak ada komentar:
Posting Komentar