Minggu, 29 November 2015

HUKUM KONSTITUSI Amandemen UUD 1945 antara Mitos dan Pembongkaran dalam Transisi Demokrasi di Indonesia




A. Latar belakang terjadinya perubahan UUD 1945

Indonesia belum pernah berhasil melakukan reformasi konstitusi. Keempat usaha yang dilakukan pada tahun 1945, 1949, 1950 dan 1956-1959 gagal menciptakan sebuah konstitusi yang demokratis, terutama yang tidak bersifat sementara. Usaha reformasi konstitusi yang kelima pada kurun waktu 1999-2002 sangat krusial untuk mengantarkan transisi Indonesia dari kekuasaan otoriter Soeharto ke sebuah tatanan kelembagaan yang demokratis. Untuk menjelaskan relatif berhasilnya usaha yang kelima, perlu dipahami terlebih dahulu penyebab gagalnya keempat upaya sebelumnya.
Latar belakang terjadinya perubahan hal utama diantaranya:[1]
1.      Faktor jatuhnya Soeharto yang mendorong terjadinya perubahan politik di Indonesia. Difokuskan pada situasi politik Indonesia sebelum Soeharto jatuh, masuknya ide-ide pembaharuan politik dari luar dan sejauh mana pengaruh faktor internasional atas tumbuhnya gerakan reformasi yang dipelopori mahasiswa yang berjuan kepada munculnya gagasan perlu perubahan UUD 1945 dalam rangka reformasi politik.
2.      Faktor perkembangan politik Indonesia pasca pemilu 1999 dalam mendorong percepatan perubahan UUD 1945.
3.      Menguraikan faktor masyarakat sipil dalam dinamika perubahan UUD 1945 antara tahun 1999-2002.
Pada perubahan pertama sampai keempat UUD 1945, dilakukan pengaturan kembali distribution of power dalam rangka menegakkan kedaulatan rakyat. Ini bertujuan agar kekuasaan Negara dapat dibagi secara seimbang diantara cabang kekuasaan eksekutif, legislative, dan yudikatif sehingga dapat memunculkan sistem checks and balance.

B. Penting Perubahan Konstitusi
Amandemen selangkah demi selangkah yang evolusioner itu pada akhirnya telah mengakhiri karakter temporer konstitusi-konstitusi Indonesia sebelumnya. UUD 1945 pasca amandemen adalah Konstitusi Indonesia pertama yang tidak secara eksplisit menyebutkan bahwa dirinya adalah sebuah Konstitusi sementara. Di samping itu, di penghujung proses, keempat amandemen itu telah menciptakan sebuah Konstitusi yang jauh lebih demokratis. Secara khusus, amandemen-amandemen itu telah membakukan pemisahan kekuasaan yang lebih jelas antara lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif; juga perlindungan hak-hak asasi manusia yang lebih mengesankan. [2]

C. Aktor terlibat dalam perubahan konstitusi
Dasar Negara dan Agama:
Fraksi PDIP, Fraksi KKI dan Fraksi PDKB berpandangan Pancasila perlu masuk dalam pasal-pasal UUD. Partai berorientasi Islam PKB dan PAN berpandangan sebaliknya. Sedangkan Fraksi Golkar dan Fraksi TNI/Polri berada siantara kelompok itu.
Sementara dalam pembahasan agama fraksi Islam ingin memasukan ‘tujuh kata’ pada Pasal 29 tujuan memasyarakatkan Islam, fraksi PDIP dan PDKB tidak menyetujui, meminta agar tidak voting materi agama, Fraksi PDIP tidak mempersoalkan  usulan Pancasila. Fraksi PPP dan PBB tidak memaksa usulan lagi.
Kelembagaan MPR, DPD, dan DPR:
            Perbedaan pandangan setiap fraksi, bagi Fraksi PDIP pembentukan DPD yang sejajar dikhawatirkan akan merusak NKRI, bagi Fraksi Golkar DPD yang sejajar dengan DPR justru memperkuat NKRI. Masalah susunan dan kedudukan MPR tidaklah berdiri sendiri karena terkait masalah Utusan Golongan dan TNI/Polri dan masalah sistem pemilihan Presiden langsung.MPR lembaga tertinggi dihapus.
Sistem Pemilihan Presiden Langsung:
            Fraksi Golkar mengusulkan pemilihan langsung
           
Masyarakat sipil berperan mempengaruhi sikap akhir fraksi dalam pembahasan isu oleh MPR, warna aliran masih mempengaruhi secara tebatas pandangan dan sikap fraksi dalam proses perubahan, ini diwarnai oleh kompetisi, bargaining, dan kompromi serta kepentingan partai yang bersifat nilai-nilai demokratis. Adanya perubahan komunitas dalam aliran politik Indonesia taerutama Islam dan kebangsaan. Aliran politik dewasa ini masih sebagi alat untuk menguatkan identitas politik yang bersangkutan.[3]


D.Topik (isu strategis) dalam amandemen[4]
            Sidang Umum MPR 1999 menghasilkan Perubahan Pertama Pasal UUD 1945, menyangkut kekuasaan legislatif, pembatasan masa jabatan Presiden, serta pemantapan checks and balances. Pasal itu: Pasal 5, 7, 9, 13, 15, 17, 20 dan 21.
            Sidang tahunan MPR 2000 Perubahan Kedua meliputi 25 Pasal, menyangkut enam materi pokok, yaitu: (1) pemerintah daerah; (2) wilayah Negara; (3) kedudukan warga Negara dan penduduk; (4) hak asasi manusia; (5) pertahanan dan keamanan Negara; (6) bendera, bahasa, lambing Negara, dan lagu kebangsaan.
            Sidang tahunan MPR 2001 menghasilkan Perubahan Ketiga mengubah secara mendasar system ketatanegaraan Indonesia. Antara lain: (1) arti ‘kedaulatan’; (2) adopsi sitem bicameral terbatas; (3) pemilihan Presiden secara langsung; (4) penegasan Indonesia sebagai Negara hukum; (5) pengaturan pemilihan umum; (6) Mahkhamah Konstitusi; (7) prosedur amandemen UUD.
            Sidang tahunan MPR 2002 Perubahan Keempat penyelesaian pemilihan Presiden langsung putaran kedua, susunan keanggotaan MPR, Pendidikan, dan masalah Aturan Peralihan dan Aturan Tambahan.

E. Mekanisme, model dan pola perunahan konstitusi
Dasar Negara dan Agama
Dalam pembahasan dasar negara tidak lagi diperdebatkan ideologi dan dasar Negara sebab Pancasila sebagai dasar Negara sudah dianggap final.Cara pandang fraksi-fraksi Islam yang mengelompok memperlihatkan masih adanya pengaruh warna aliran Islam. Begitu pun dengan fraksi-fraksi non-Islam yang dipengaruhi aliran nasionalis sekuler. Masalah dasar negara mencapai kesepakatan untuk tidak memasukan pancasila dalam batang tubuh UUD 1945, kesepakatan dicapai dengan masalah masuknya ‘tujuh kata’yaitu ‘dengan kewajiban melaksanakan Syariat Islam bagi pemeluknya’ dalam Pasal 29 juga tidak jadi dilakukan.[5]
Kelembagaan MPR, DPD, dan DPR[6]                                      
Perubahan pasal-pasal UUD 1945 yang mengatur lembaga perwakilan merupakan upaya memperbaiki system perwakilan yang sebelumnya melahirkan MPR dengan kekuasaan tidak terbatas, Presiden yang terlampau kuat, serta Legislatif yang lemah. Pembahasan penguatan peran DPR tidak memunculkan perdebatan kuat sebab tidak berhubungan dengan ideology, menyangkut kepentingan DPR dan partai, dan memperoleh dukungan kuat masyarakat.
DPD untuk memperkuat penyaluran aspirasi daerah dengan peningkatan utusan daerah, akhinya bentuk DPD soft bicameral.
Perubahan mengenai DPR adalah mengenai fungsi DPR karena merupakan lembaga perwakilan mengontrol pelaksanaan undang-undang dan jalannya pemerintahan. Fungsi DPR dipertegas yaitu fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Hak DPR sebagai lembaga yaitu hak interplasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. Dan Hak anggota DPR secara perorangan yaitu mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, serta hak imunitas. Selaiin itu fungsi lain DPR mengusulkan pemberhentian Presiden, melantik Presiden dan Wakil Presiden dalam hal MPR tidak dapat melaksanakan, memilih anggota Badan Pemeriksa Keuangan, memberikan persetujuan ata pengangkatan HakimAgung, mengajukan 3 dari 9 orang anggota hakim konstitusi.
Mengenai MPR pembahasan panjang MPR disepakati sebagai lembaga permanen, kewenangan yang tersisa yaitu pelantikan dan pengambilan sumpah dan janji Presiden yang dilakukan dihadapan MPR, mengubah dan menetapkan UUD, serta memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden apabila terbukti melanggar UUD 1945. Ini dikarenakan Presiden tidak dipilih MPR melainkan langsung oleh rakyat, sehingga Presiden tidak bertanggungjawab kepada MPR.MPR kemudian tidak lagi sebagai lembaga tertinggi yang mendistribusikan wewenang kepada lembaga-lembaga negara lain dibawahnya, dengan dihapusnya kata ‘sepenuhnya’pada Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Susunan dan kedudukan MPR selesai setelah kesepakatan mengenai DPD dan Presiden.
Sistem Pemilihan Langsung
Proses pembahasan panjang, ini terkait masalah susunan dan kedudukan MPR, kewenangan MPR sebagai lembaga, dan kalkulasi politik. Kewenangan MPR yang oleh UUD 1945 lama (sebelum perubahan) tidak memberikan rambu-rambu jelas mengenai pemberhentian Presiden. Setelah perubahan ketiga seorang Presiden dapat diberhentikan setelah melalui proses peradilan Mahkamah Konstitusi, kepastian pemberhentian Presiden mempengaruhi Fraksi PDIP menerima sistem pemilihan Presiden langsung karena fraksi-fraksi lain menyetujui dan masyarakat sipil menginginkan sangat kuat pemilihan Presiden secara langsung.

UUD 1945 masih tetap dianggap sebagai sumber jaminan bagi eksistensi dua elemen fundamental negara Indonesia: (i) penolakan terhadap negara Islam; dan (ii) sebagai gantinya, ditetapkannya Pancasila, sebagai ideologi negara nasionalis, yang terkandung dalam Pembukaan Konstitusi. Jadi, kesepakatan MPR untuk mempertahankan Pembukaan adalah konsensus kunci yang memungkinkan proses amandemen ini berjalan sebagaimana mestinya.[7]

F. Materi (arah dan hasil) perubahan konstitusi
Reformasi Legislatif;Struktural
Keempat amandemen itu telah mengubah struktur parlemen. MPR, yang semula berisi anggota-anggota DPR dan kelompok-kelompok fungsional tambahan-termasuk militer sudah diubah, dan sekarang hanya terdiri dari anggota-anggota DPR dan DPD.1589 Anggota-anggota DPR mewakili kepentingan-kepentingan partai-partai politik, sedangkan anggota DPD mewakili kepentingan-kepentingan daerah yang diwakilinya.1590 Yang penting, semua anggota dari kedua kamar ini kini dipilih oleh rakyat. Ini berarti sistem kursi pesanan‘ untuk militer dan golongan-golongan lain, sudah tak berlaku lagi.[8]
Reformasi Fungsional; MPR dan Kedaulatan
Sebuah perubahan yang fundamental terjadi ketika Perubahan Ketiga mengatur bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar. Ini berarti bahwa MPR tidak lagi menjadi satu-satunya pemegang kedaulatan, tidak lagi merupakan lembaga tertinggi di Republik ini, dan tidak lagi memiliki kekuasaan-kekuasaan yang tak terbatas.[9]
Reformasi DPR
Perubahan Pertama mencabut kekuasaan untuk membuat undang-undang dari tangan Presiden, dan memberikannya kepada DPR. Bagir Manan berpendapat bahwa amandemen ini mengukuhkan checks and balances yang lebih jelas antara Presiden, selaku lembaga eksekutif, dan DPR, sebagai lembaga legislatif.[10]
Pembentukan DPD
Satu langkah reformasi legislatif lainnya adalah pembentukan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Lembaga baru ini dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada masyarakat daerah untuk berperan lebih aktif di dalam pemerintahan, sejalan dengan ide untuk menerapkan otonomi daerah.1625 Tetapi, DPD hanya diberi otoritas yang sangat terbatas, apalagi kalau dibandingkan dengan kekuasaan DPR. Tetapi, bagaimanapun juga, ini adalah satu contoh lain kompromi yang dicapai dalam proses amandemen.[11]
Reformasi Eksekutif
Bahwa sekarang Indonesia memiliki sebuah sistem checks and balances yang lebih baik terhadap kekuasaan-kekuasaan presiden. Kendati pemilihan Presiden langsung memperkuat legitimasi Presiden, ini tidak berarti bahwa kekuasaan Presiden akan tak terbatas. Kekuasaan Presiden untuk mengangkat dan memberhentikan pejabat-pejabat tinggi negara sudah diatur dengan lebih baik.[12]
Reformasi Yudisial; Struktural
Membakukan dua lembaga baru: Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial. Posisi Mahkamah Konstitusi setara dengan Mahkamah Agung, tetapi dengan yurisdiksi yang berbeda. Keputusan untuk membentuk sebuah mahkamah baru adalah satu solusi yang lebih baik ketimbang memberi kekuasaan-kekuasaan yudisial baru kepada Mahkamah Agung, mengingat begitu akutnya masalah korupsi di tubuh Mahkamah Agung dan di tingkat-tingkat peradilan yang berada di bawahnya.[13]

G. Makna Perubahan Konstitusi
Karakteristik-karakteristik proses pembuatan konstitusi di masa transisi, para ilmuwan harus mencatat bagaimana nilai simbolik UUD 1945 dengan kuat terus membayang-bayangi berlangsungnya reformasi konstitusi di negeri ini. Sekalipun prosesnya berbeda dari proses-proses demokrasi di negara-negara lainnya, proses yang lamban, setengah-setengah, dan tentatif yang terjadi di Indonesia berhasil membawa negara ini ke sebuah Konstitusi yang lebih demokratis, dan memberikan kontribusinya yang signifikan kepada proses transisi Indonesia dari sebuah otoriterisme yang terang-terangan.[14]
            Dengan perubahan konstitusi aliran politik dewasa ini lebih digunakan sebagai alat partai politik untuk menguatkan identitas politiknya. Fenomena perubahan ideologi ditingkat global dan menguatnya pragmatisme kalangan umat Islam Indonesia akibat proses deideologisasi dan modernisasi ekonomi selama orde baru telah memunculkan masyarakat Islam yang lebih mengutamakan Islam kultural daripada Islam sebagai ideologi. [15]




DINA SEPTIA ANDRIANI
11010112130530
Fakultas Hukum Universitas Diponegoro


SUMBER

Denny Indrayana, 2007, Amandemen UUD 1945, Antara Mitos dan Pembongkaran, cetakan kedua, Mizan, Bandung.

Valina Singkah Subekti, 2008 Menyusun Konstitusi Transisi: Pergulatan Kepentingan dan Pemikiran dalam Proses Perubahan UUD 1945,cetakan pertama, Rajawali Pers, Jakarta.



[1] Valina Singka Subekti, Menyusun Konstitusi Transisi: Pergulatan Kepentingan dan Pemikiran dalam proses Perubahan UUD 1945, Rajawali Pers: Jakarta, hlm 45-46
[2] Denny Indrayana, UUD 1945: Antara Mitos dan Pembongkaran, Mizan: Bandung, hlm 435
[3] Valina Singka Subekti, Menyusun Konstitusi Transisi: Pergulatan Kepentingan dan Pemikiran dalam proses Perubahan UUD 1945, Rajawali Pers: Jakarta, hlm 322
[4] Valina Singka Subekti, Menyusun Konstitusi Transisi: Pergulatan Kepentingan dan Pemikiran dalam proses Perubahan UUD 1945, Rajawali Pers: Jakarta, hlm 7
[5] Valina Singka Subekti, Menyusun Konstitusi Transisi: Pergulatan Kepentingan dan Pemikiran dalam proses Perubahan UUD 1945, Rajawali Pers: Jakarta, hlm 316
[6] Valina Singka Subekti, Menyusun Konstitusi Transisi: Pergulatan Kepentingan dan Pemikiran dalam proses Perubahan UUD 1945, Rajawali Pers: Jakarta, hlm 318-319
[7] Denny Indrayana, UUD 1945: Antara Mitos dan Pembongkaran, Mizan: Bandung, hlm 434
[8] Denny Indrayana, UUD 1945: Antara Mitos dan Pembongkaran, Mizan: Bandung, hlm 405
[9] Denny Indrayana, UUD 1945: Antara Mitos dan Pembongkaran, Mizan: Bandung, hlm 405
[10] Denny Indrayana, UUD 1945: Antara Mitos dan Pembongkaran, Mizan: Bandung, hlm 408
[11] Denny Indrayana, UUD 1945: Antara Mitos dan Pembongkaran, Mizan: Bandung, hlm 412
[12] Denny Indrayana, UUD 1945: Antara Mitos dan Pembongkaran, Mizan: Bandung, hlm 415-416
[13] Denny Indrayana, UUD 1945: Antara Mitos dan Pembongkaran, Mizan: Bandung, hlm 421
[14] Denny Indrayana, UUD 1945: Antara Mitos dan Pembongkaran, Mizan: Bandung, hlm 436
[15] Valina Singka Subekti, Menyusun Konstitusi Transisi: Pergulatan Kepentingan dan Pemikiran dalam proses Perubahan UUD 1945, Rajawali Pers: Jakarta, hlm 325

Tidak ada komentar:

Posting Komentar